Contact Form

 

Lampaui Batas Diri


Naik Gunung adalah hal baru bagiku, yang belum sempat aku fikirkan ketika aku SD-SMA. Tapi mereka telah berhasil membuat ruang imajinasiku semakin lengkap. Aku tidak tahu mengapa dan atas dasar Undang-Undang nomor berapa aku bisa menyukainya.

Aku tidak tergabung dalam komunitas pecinta alam, atau pecinta gunung, atau pecinta climbing, tetapi aku menyukainya. Menelusuri jalanan di tengah hutan, dari yang paling dasar hingga sampai ke puncak. Aku belajar banyak hal dari pendakian, mulai dari saling mengenal teman sepeerjuangan, mengenal alam, mengingatkan kembali tentang kehidupan, dan yang paling penting belajar survive.

Aku merasakan kedatangan-Mu dihatiku. Sungguh nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?, ayat Al-quran yang selalu mendengung memutari otakku ketika di pendakian. Selain karena terpesona melihat indahnya alam, tetapi juga karena ingat akan diri sendiri yang begitu kecil. Tinggi badanku tidak seberapa, mungkin perlu 20 kali lipat agar bisa mencapai atas pohon di hutan yang aku lewati. Karena kecilnya amalan baikku juga mungkin aku bisa ditutup dengan pepohonan ini seketika. Allah memang baik, memberi indahnya alam yang terkadang membuat orang tergiur untuk terus menggalinya. Padahal Allah bermaksud agar kita sadar dan kemudian menjaga.

Aku bisa mengenalmu, temanku. Dalam jalur pendakian yang terkadang berat, dengan terjalnya tanah yang kita pijak juga perpaduan antara langkah yang mulai terasa lelah pasti adaaaa aja capek dan mungkin memancing sedikit kekesalan. Ketika mendaki, kita bisa mengenal karakter seseorang yang sesungguhnya. Bahkan bisa mengubah penilaian sifat seseorang. Rasa egois itu akan melebur dengan sendirinya.
Aku beradaptasi. Gunung, hutan, sawah, bebatuan, angin, air, udara, daun, hemm apalagi yaaa... aku ingat,
Toilet alam bahkan sampai ulat bulu yang menakutkan itu juga berani menyapa.

Aku bukan seseorang yang berani memberantas ulat bulu. Tetapi ketika kami bertemu seakan-akan grombolan batu, seruan angin ikut membantuku untuk melawannya. Aku belajar melawan ketakutanku, aku belajar melampaui batas diri. Sesungguhnya jika aku tidak fokus kalau aku takut ulat pasti aku akan terus berjalan dan tidak akan menghentikan langkah.

Aku belajar beradaptasi. Lewat toilet alam yang ada disetiap sisi membuatku belajar bahwa hutan mempunyai sifat karismatik yang tersembunyi. Hutan memang baik, selalu menyembunyikan makhluk diantara pepohonannya, menyelipkan kotoran manusia di kegelapannya dan tidakkah mereka pantas mengeluh? Aku belajar untuk tidak mengeluh, aku belajar untuk merespon alam yang menyapaku hingga mereka menyambutku dengan senyum dan tawa lewat sinar matahari di pagi hari.

Aku belajar melampaui batas diri. Aku bukan seseorang yang kuat. Ketika mulai lelah membawa carrier, istirahatlah. Tetapi ritme istirahat juga perlu diatur. Yang kutemui ketika banyak istirahat nantinya malah cepat capek, jadi aku selalu berusaha untuk memotivasi diri sendiri dengan memikirkan “ayo aku bisa, aku bisa,  5 menit lagi.” Karena aku belajar melampaui batas diri, yang terkadang bisa aku terapkan untuk menyelesaikan masalah dikehidupan sehari-hari.

Ini perjalananku yang paling kompleks.


Tegal Panjang, Bukit Teletubies. 26-27 Maret 2016

Mulai dari plan A sampai plan D sudah dirancang dan akhirnya tetap plan A.
Awalnya waktu kumpul jam 3 sore, sampai jam 4 belum ada orang. Jam 5 harusnya berangkat tapi masih packing di sanggar, karena beranggapan sudah tidak ada damri kami memutuskan untuk mencari transport sendiri. Setelah magrib makan mi ayam di warung Pak Wono  (langganan), setelah itu tidur sampai diusir satpam (jam 11). Hidup kita memang nomaden, setelah diusir dari sanggar kita pindah ke alun-alun sampai jam setengah 2 daaan kemudian pindah lagi ke SMP 25. Ternyataa kami berangkat pagi setelah subuh. OK kali ini benar-benar perjalanan yang panjang.
Kami harus melewati serangan merah merona “ulat bulu” berwarna merah, bulu panjang dan geraknya cepat. Dari segala penjuru kami diserang, tak heran jika orang seperti aku dan Dudu sesekali, dua kali menjerit. Uwoo syalalala...
Singkat cerita jam 3 mulai masuk gerbang hutan. Jalan berliku, naik turun rasanya seperti di php-in karena beberapa kali menemui cahaya dari langit. Kami kira ini space luas yang menandakan tegal panjang sudah di depan. Mengingat pesan Bapak Guru jikalau bawa tenda boleh duluan akhirnya pesan itu memperkuat kami untuk menunggu rombongan ketika sudah sampai nanti. Dan benar, sekitar jam 6 sore kami sudah sampai dan segera mendirikan tenda.

Subhanallah, indahnyooo bukit teletubies ini. Walaupun agak gelap karena bulan dan bintang malu untuk keluar tapi hijaunya rumput yang mempunyai tinggi sekitar 30 cm ini terlihat sesekali menari menyambut kami.

Kak Azka menunggu rombongan sampai jam 12 malam tetapi tak kunjung datang. Mungkin mereka ngecamp dibawah, pikir kami.

PAGI,

Sampai pagi pun, kami belum bertemu dengan rombongan. Sembari menunggu, ada temanku Dudu Karamoy masak pancake. Ya ini masakan paling unik sepanjang perjalananku ke ruang imaji. Setelah sarapan pagi, kami memutuskan untuk segera turun dan melanjutkan perjalanan ke kawah papandayan. Sebelum turun kami pamit dengan rombongan.

Yeyeyeyee, aku ingin ke Papandayan dari setelah ke Manglayang. Kudengar Papandayan punya alur yang tidak terlalu susah, dan pemandangannya bagus. Tetapi sudah 2 kali aku menolak tawaran untuk ke papandayan karena suatu hal. Semoga kali ini memang waktunya. Di tengah perjalanan menuju papandayan, kami sempat membuat video caiya caiya (lagu india) yang di sutradarai oleh teman kita Syukri.

Rute yang kita lewati tidak sama dengan rute pemberangkatan. Rute pulang banyak naiknya tetapi lebih cepat. Sebelum memasuki hutan kami bertemu dengan Ibu Guru dari Jakarta yang kamipun belum sempat berkenalan dengan rombongannya. Dari pertemuan ini, kami mendapat pelengkap quotes yang sebelumnya di terbitkan oleh Dudu Karamoy yaitu “ Cinta itu kalo nggak jadi, kalo jadi berarti jodoh” kemudian dilengkapi oleh Bu Guru “Kalo bosan bilang, jangan ngilang”.
Quotes ini terkadang menjadi bahan pembicaraan kami dalam perjalanan menuju kawah hingga sampai rumah.



Kawah Papandayan, 27 Maret 2016

Bersama Tamasya Ganesha ( Kak Bibit, Kak Azka, Dudu Karamoy, Syukri Khan, Desy Amanda dan Aku)

Total comment

Author

Yani mustikawati

0   comments

Cancel Reply