Jilid 1
Kata
siapa aku tak boleh bermimpi? Kata siapa bermimpi besar hanya boleh untuk
mereka yang mampu dibidang materi? TIDAK. Jelas tidak.
Dulu bagiku Bandung
hanya sebuah kata dan gambar yang menari di layar televisi, sesaat lewat sesaat
pergi. Sekarang tepi sudut kotanya adalah kehidupanku sehari-hari. Siapa yang
menyangka? Akupun tak tahu mengenai itu.
Mimpi merupakan salah satu penggerak semangat untuk masa depan yang lebih baik.
Tidak juga terbatas hanya di kota besar, namun mimpi itu juga tumbuh dan mekar
di daerah-daerah yang belum terjangkau teknologi masa kini. Mimpi merupakan
milik setiap makhluk yang bernyawa. Mungkinkah ini terlambat? Kurasa tidak. Aku
mulai membangun mimpi ketika kuliah. Aku mengenal mimpi-mimpi indah dan
bayangan yang cukup tinggi untuk meraihnya. Mimpi tidak hanya milik orang-orang
yang berkemampuan dalam bidang materi, namun juga milik mereka yang
berkemampuan di bidang non-materi.
Mimpi,
Semua dimulai dari
mimpi. Mimpi ketika aku melihat kobaran api yang membakar semua baju Ibu
membuatku berpisah dengan seseorang yang paling menyayangiku. Kejadian itu
membuatku harus tinggal bersama dengan Bapak dan Kakakku. Sekolah adalah hal
yang paling aku inginkan kala itu, Bapak menyekolahkanku di SD N 1 Pojok. Aku
mempunyai ruang istimewa yang menjadi saksi dimana pembelajaranku dimulai yaitu
amben. Salah satu aksesoris rumah yang kami punya. Bapak sengaja menaruh amben
di depan TV agar kami bertiga bisa menonton bersama, ketika siang- sore hari
amben itu harus berubah menjadi tempat duduk untuk tamu dan ketika malam hari
berubah menjadi tempat belajar dan tempat tidur kami. Untungnya aku tak bisa
mengeluh selain menikmati apa yang ada karena aku memang belum mengerti apapun
kala itu. Sering sekali aku membayangkan tidur di kamar dengan ukuran dinding
yang tinggi berwarna putih, ukurannya luas sehingga aku bisa menaruh
bintang-bintang dan beberapa tempelan gambar lain kesukaannku. Aku hanya bisa
mengaplikasikan bayanganku itu pada permainan bibimini/ wong-wongan.
Ketika aku kelas 3
SD amben sudah berpindah fungsi tidak lagi sebagai tempat tidur tetapi tempat
duduk tamu. Tempat tidurku berpindah di lantai, waktu itu Bapak melapisi lantai
dengan kayu bekas box buah-buahan ketika jualan dulu. Sempat sesekali kejatuhan
kala jengking dan dilewati kaki seribu di leher tanpa permisi. Ku kira aku akan
mendapatkan meja khusus belajar seperti di TV, ternyata tempat belajarku masih
sama yaitu di amben, malahan sekarang aku bisa menumpuk buku-buku semua
pelajaran sekolah dasar maupun sekolah madrasah di amben karena kurang
mengertinya aku dengan kerapian. Aku hanya menyukai menulis dan menggambar,
jadi buku yang aku rapikan hanya buku gambar dan satu buku tulis. Buku itu
berpindah di lemari ketika aku kelas 5 SD. Aku mempunyai kamar sendiri di
belakang bekas tempat memelihara lele. Walaupun tak seluas seperti yang aku
bayangkan, tempat ini membantuku untuk aku fokus belajar. Kemudian naik kelas
enam, aku ditawari Bu Guru agama untuk mengikuti lomba kaligrafi, alhamdulillah
ini sertifikat pertamaku. Singkat cerita karena pulang membawa juara tingkat
kecamatan, tetanggaku “DekMat” yang juga keponakanku itu mulai memperhatikan
sekolahku, setiap sore sepulang sekolah madrasah aku selalu diajari rumus-rumus
matematika dan ipa. Saat itu dia kelas 2 SMP. Mulai dari situlah aku menyukai
matematika, setiap kali ulangan aku selalu berusaha untuk menjadi siswa yang
paling mengerti. Alhamdulillah kelulusan SD aku mendapat peringkat ketiga dari
31 siswa. Setelah lulus SD aku melanjutkan di SMP N 1 Tawangharjo, beruntung
sekali ada beberapa teman SD ku yang melanjutkan kesana juga. Bisanya kami
berangkat ke sekolah bebarengan naik sepeda dengan titik kumpul di ‘rondan’. SMP
menjadi masa belajar yang indah buatku karena aku merasa fokus belajar dan
mencari ilmu dengan sungguh-sungguh. Hingga kelas 2 SMP aku mendapat hadiah
yang tak pernah ku bayangkan. Kali ini, aku benar-benar tak membayangkannya.
Ibuku balik ke rumah dan mengembalikan senyumnya pada ayah. Ciyeee.
SMA, aku memilih
SMA yang kata orang banyak orang nakal. Aku penasaran dengan kalimat orang, aku
tidak suka asal-asalan ngikut teman, sekolah yang dulunya dipakai untuk pasar
hewan ini telah menjadi tempatku belajar. Kelas XI menjadi momen penting dalam
hidupku ketika aku diamanahi mengikuti lomba kaligrafi. Tepat pada tanggal 23
Oktober 2011, aku membuat kaligrafi dari 1 ayat yang telah ditentukan panitia. Biasa,
karena tidak berpengalaman banyak aku suka iri melihat mereka yang ditemani
oleh guru-gurunya, sesekali dinasehati warnanya kontras, kurang rapi, hijaunya
kurang kuning, terkadang juga dibantu mewarnai. Apalah aku, dari sekolah yang
biasa-biasa saja dan bahkan orang mengenalnya dengan sekolah yang mencetak
lulusan orang nakal ini. Mereka tidak pernah melirikku, “yo wis aku gak peduli
penting nggarap, eksplor kemampuan, rampung, pikirku dalam hati. Oh mungkin ini
rasanya mendapat kado terindah di hari ulang tahun, seperti yang biasanya ada
di TV. Alhamdulillah, aku menang juara 1 Lomba Kaligrafi Putri se- Kabupaten
Grobogan. Semester 2 tentulah berbeda dengan cerita semester 1. Bukan kaligrafi
lagi, kali ini mungkin karena barokahnya anak solehah :-P . Aku diajak temanku
mengikuti lomba OSN di kabupaten, bidang kimia. Temanku sudah menjabat
peringkat 1 pararel tiap tahunnya, tak heran jika ia selalu menjadi sorotan. Kali
ini aku tidak mau iri, tetapi aku ingin bisa. Karena berteman dengan orang
pintar, maka aku juga harus bisa mengikutinya. Ku pikir kita bisa belajar
bersama. Alhasil dia mendapat juara 2 dan aku mendapat juara 3. Kebetulan waktu
itu 3 besar perwakilan kabupaten akan dikirim ke Solo untuk melanjutkan lomba
tingkat provinsi. Deg deg ser dong bagi orang seperti aku yang tak pernah pergi
jauh. Ibu dan Bapak membekaliku dengan doa, karena aku bilang nanti makan sudah
di tanggung. Setibanya di Solo, kami bertemu dengan banyak orang berkaca mata. Karena
di Grobogan jarang melihat orang berkaca mata, aku sering menyebut mereka orang pintar. Orang pintar sering bercerita mengenai pelajaran di setiap
jalan, bahkan makanpun aku mendengar pembahasan mereka tentang soal, subur
sekali otak orang pintar ini, pikirku. Karena tak ingin menunggu lama aku dan
temanku Yunita (juara 2) segera bergegas mengangkat barang ke kamar. Alhamdulillah,
aku langsung lari dan loncat di atas kasur hotel. Kamar yang aku pikirkan
ketika aku SD kini menjadi nyata, walaupun hanya sesaat setidaknya aku bisa
menikmati ini dengan gratis. Kamar yang luas dengan kasur yang empuk, dinding
yang tinggi dan berwarna putih menjadikan otakku melayang di atas rumah. Bahkan
kamar ini lebih bagus daripada yang kubayangkan, dilengkapi dengan kamar mandi,
kulkas, TV, lampu tidur, serta AC. Aku dan Yunita hanya keluar kamar ketika mau
makan, malam hari kita putuskan untuk belajar bersama dan saling bercerita
kalau tidak akan tidur, ternyata kami ketiduran. Kring-kring.... kring suara HP
Yunita berbunyi ternyata dari Kholid teman dari Grobogan yang menjadi juara 1. Dia
menelfon Yunita karena kita belum ada di ruang makan sedangkan waktu sudah
menunjukkan pukul 06.30 akhirnya kita bergegas untuk mandi dan segera turun. Seingatku,
kita tidak sempat sarapan karena harus sudah berkumpul di ruang lomba jam 07.00
untuk pembagian kit.
Sejak saat itu, aku
beranggapan bahwa aku tidak cocok untuk tidur di kasur yang empuk karena takut
susah bangun.
*bibimini/ wong-wongan adalah suatu permainan dari kertas bergambar orang, dilengkapi dengan gaun-gaun, perlengkapan hidup.
*rondan adalah tempat yang biasa digunakan untuk pos kampling, tetapi karena di kampung jarang digunakan akhirnya dijadikan tempat berkumpul pemuda desa.
*rondan adalah tempat yang biasa digunakan untuk pos kampling, tetapi karena di kampung jarang digunakan akhirnya dijadikan tempat berkumpul pemuda desa.